- Kedua Telapak Kakiku ada di punggung
setiap Wali Allah Bismilahirrohmaanirrohiim Alhamdu Lilaahi Robbil”aalamiin
Asholaatu Wasalaamu ‘ala Sayyidil Mursaliin, Sayidinaa wa Maulanaa Muhammadin
wa ‘alaa AaliHi wa ShohbiHi wa ‘alainaa ma’ahum AmiinB Al-Hafid Abu Izza
Abdul Mughist bin Harb Al-Baghdadi dan yang lainnya berkata ” Kita biasa
hadir di majelis Syeh Abdul Qodir di ribathnya di Baghdad. Umumnya yang
menghadiri majelis beliau adalah para Syaikh Iraq diantaranya ; Syaikh Alibin
Hiti, Baqa bin Bathu’, Abu Sa’id Al-Qailawi, Musa bin Mahin , Abu
NajibAssahrawardi, Abu karam, Abu Umar, Utsman Al Qursyi, Makarim al-Akbar, Mathar,
Jaakir, Khalifah, Shidqah, Yahya Murtasyi, Ad-diya Ibrahim al-Juwaini, Abu
Abdulah Muhammad al-Qazwaini, dan masih banyak lagi selanjutnya klik di
siniAbu Ustman, Umar Ak-Batiahi, Qadib Al- Baan, Abul Abas Ahmad Al-Yamani,
Abu Abas Ahmad Al-Qazwaini beserta muridnya Daud yang selalu melaksanakan
Shalat fardhu di Makkah, Abu Abdulah Muhammad Al-Khas, Abu Umar, Ustman
Al-Iraqi As-Syauki, yang konon merupakan salah seorang Rijal Ghaib ….dan lain
sebagainya. Dalam kondisi Spiritual sang Syaikh berkata “Kakiku ini ada di
punggung setiap Wali”. Begitu mendengar tersebut Syeh Ali ASl-Hiti langsung
bangkit dan meletakkan kaki SyehAbdul Qodir Al-Jailani di pundaknya. Begitu
pula dengan yang lain, mereka telah mengulurkan pundaknya untuk melaksanakan
hal tersebut. Syeh Ali bin Abi Barakat Shakr bin Shakr meriwayatkan bahwa ia
pernah mendengar ayhnya pernah berkata “Aku penah berkata kepada pamanku Syeh
Uday bin Musafir ‘Sepanjang pengetahuan anda selain Syeh Abdul Qodir
Al-Jailani adakah para ulama terdahulu yang berkata ‘Kedua kakiku ini ada di
pungggung setiap Wali Allah ?’ “Tidak” jawabnya. ‘Jika memang demiian
sambungku, lalu apa makna dari perkataan tersebut ?’ Beliau berkata “itu
artinya Syeh Abdul Qodir telah mnecapai maqom wali Afrod . ‘Tapi bukankah di setiap
generasi terdapat Wali Afrad bantahku lagi. “Benar tapi tidak ada seoranpun
yang diperintahkan oleh Allah untuk mengucapkan kalimat ini” jawabnya. ‘Jadi
memang beliau diperintahkan untuk mengucapkan kalimat tersebut ? tanyaku.
‘ya’ jawab beliau. Kemudian beliau berkata ‘karena adanya perintah tersebut
mereka meletakkan kepala . Bukankah engkau mengetahui bahwa para Malaikat as
bersujud kepada Adam karena adanya perintah krpada mereka untuk melaksanakan
hal tersebut. Syeh Baqa bin Bathu An-Nahri Al-Maliki berkata ” Syeh Abdul
Qodir berkata’kedua kakiku ini berada di setiap punggung Wali Allah’”.
Berkenaan dengan itu Syeh Ibrahim dan Syeh Abi Hasan Ali Arrifa’i al-Bathiahi
mwriwayatkan bahwa ayahnya pernah bertanya kepada pamannya Syeh Ahmad
Arrifa’i ‘apakah pernyataan Syeh Abdul Qodir ‘ kedua telapak kakiku ini
berada di punggung setiap wali Allah berdasarkan perintah atau tidak?’
Pernyataan tersebut berdasarkan perintah jawab beliau. Dalam sebuah riwayat
tyang dinisbatkan kepada Syeh Abi Bakaw bin Hawwar menyatakan bahwa veliau
pernah berkata di majlisnya ,”Nanti akan muncul di Iraq seorang non arab yang
memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan manusia. Namanya Abdul Qodir
dan tinggalnya di Baghdad, Dia akan berkata ” Kedua kakiku ini berada di setiap
punggung Wali Allah” Dan setiap wali akan mengakui bahwa beliau adalah wali
Afrad pada zamannya. Sulthon Auliya dan Syaikh Islam Izzuddin bin Abdissalam
berkata, ” Belum pernah kemutawatiran riwayat tenteang sebuah karomah yang
sampai kepada kami sebanding dengan kemutawatiran karomah Syeh Abdul Qodir Al
Jailani . Beliau adalah orang yang berpegang teguh kepada Syari’ah , menyeru
orang-orang untuk melaksanakan syari’ah, dan menghindarkan diri dari yang
dilarang olehNya. Beliau berbaur dengan masyarakat sambil terus menerus
beribadah dan beliau bisa mencampurkannya dengan sesuatu yang menyibukkan
beliau seperti menikah dan memiliki keturunan . Barang siapa yang mengikuti
jalan ini maka ia lebih sempurna daripada yang lain. Ditambah lagi apa yang
dinyatakan fdi atas merupakan karakter dari Rosulullohi SAW . Diantara
karomah beliau adalah pernyataan beliau ‘Kedua telapak kakiku ini berada di
setiap punggung Wali Allah. Hal tersebut dikarenakan kesempurnaan beliau
tidak tertandingi pada masa itu yang tidak diragukan lagi menjadikannya
berhak mendapatkan kehormatan tersebut. Syeh Mathar meriwayatkan “Suatu hari
ketika saya sedang berada di Zawiyah Syeh Abu Wafa’, guruku, di daerah
Qailamaya beliau berkata kepadaku ‘Ya Mathar tutup pintu, jika ada seorang pemuda
Ajam (non Arab) datang memohon untuk masuk maka jangan diberi dia ijin’.
Akupun melaksanakan perintah beliau. ternyata yang datang adalah Syeh Abdul
Qodir yang pada waktu itu masih seorang pemuda. Beliau mohon ijin untuk masuk
namun Syeh Abu Wafa’ tidak mengijinkannya masuk. Saat itu aku melihat Syeh
Abu Wafa’ berjalan hilir mudik dalam zawiyah dengan gelisah. Setelah itu
beliau mengijinkannya untuk masuk. Ketika Syeh Abu Wafa’ melihat Syeh Abdul
Qodir beliau melangkah mendekat dan memeluknya beberapa lama seraya berkata
‘Abdul Qodir‘ demi Yang Maha Agung aku tidak mengijinkanmu masuk pertama kali
bukan karena keinginan zalim terhadap hakmu akan tetapi karena takut terhadap
dirimu. Akan tetapi setelah aku ketahui bahwa engkau ingin belajar kepadaku
dan menaatiku, baru aku merasa aman. Syaikh Abdurrahman At-Tahfsunaji berkata
“Saat Syeh Abdul Qodir datang ke Zawiyah Tajul ‘Arifin Abu Wafa’ beliau
berkata kepad para muridnya ‘ Berdiri dan smbutlah Wali Allah’-Pernyataan ini
mungkin terjadi pada saat Syeh Abdul Qodir sedang berjalan menuju beliau atau
dikeluarkan kepada mereka yang belum bediri ketika Syeh Abdul Qodir datang-
Ketika beliau megulang-ulang perintah tersebut, seorang muridnya bertanya
kepada beliau sebab pernyataan tersebut. Beliau menjawab “Pada saatnya nanti
pemuda ini akan menjadi sandaran baik golongan khas maupun awam. Aku seakan
akan melihatnya seang berbicara di depan khalayak ,”Kedua telapak kakiku ini
berada di punggung setiap Wali Allah”. dan pernyataan itu benar adanya.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwea beliau adalah Qutb mereka pada saat
itu. Barang siapa berjumpa dengannya pada sat itu, berkhidmadlah kepadanya.
Syaikh musallamah bin Naimah As-Saruji ketika ditanya tentang siapakah Qutb
itu, beliau menjawab, “Beliau sekarang ada di Makkah, bersembunyi dan hanya
diketahui oleh orang-orang saleh. Dan akn muncul di sini (Iraq) seorang
pemuda ‘ajam yang mulia bernama Abdul Qodir Akan tampak dari beliau beberapa
Karomah yang luar biasa . Beliau adalah Qutb waktunya dan Ghauts Zamannya. Baliau
akn berkata di hadapan orang-orang “Kedua telapak kakiku ini ada di punggung
setiap Wali Allah”, dan para Wali akan merendahkan punggungnya kepada beliau.
Allah akan memberikan manfaat darinya dan dari karomahnya kepada siapa saja
yang mempercayainya. Syaikh Ali Al-Hiti meriwayatkan, “ketika Syaikh Abu Wafa
sedang berbicara di dalam majlis, masuklah Syeh Abdul Qodir . beliau
memerintahkan para murid untuk mengeluarkannya dan meneruskan ceramahnya.
Kemudian untuk yang ke tiga kalinya Syeh Abdul Qodir kembali masuk ke
pengajian tersebut. Kali ini Syaikh Abu Wafa’ turun dari kursinya tempat
menyampaikan pengajaran lalu memeluk beliau dan menciumi dahinya seraya
berkata,’Para penduduk Baghdad, berdirilah demi Wali Allah ini. Perintahku
untuk mengusirnya tidak lain agar kalian mengetahuinya bukan untuk
menghinanya. Betapa mulia seorang hamba yang kibaran panji di atas kepalanya
melingkupi timur dan barat’. Kemudian beliau berkata kepada Syeh Abdul Qodir
, “Abdul Qadir, masa sekarang milik kami,dan kelak akan menjadi milikmu. Aku
serahkan kepadamu Iraq. Semua ayam akan berkokok dan berhenti kecuali kokokan
ayammu yang tidak akan berhenti hingga hari kiyamat’. Setelah itu beliau
memberikan sajadah, baju, tasbih , tempat makan dan tongkatnya kepada Syeh
Abdul Qodir. ‘Ambil semua itu dengan bai’at saran seseorang kepadanya. Namun
Syaikh Abu Wafa’ berkata, di dahinya terdapat bai’at Al-Makhzuumi’. Setelah
majlis tersebut selesai, Taajul ‘arifiin Syaikh Abu Wafa’ turun dan duduk di
akhir tangga tempatnya mencapaikan ceramah seraya menggenggam tangan Syeh
Abdul Qodir dan berkata, ‘sekarang adalah waktumu.’ Jika beliau datang aku
selalu teringat akan kisah ini dan kemuliaan beliau’. Syaikh Umar Al-Bazaar
berkata, “tasbih yang diberikan Syaikh Abu Wafa kepada beliau dapat berputar
sendiri biji-bijinya jika diletakkan di atas tanah. Setelah bellliau eninggal
dunia, tasbih tersebut menjadi milik Syaikh Ali bin Al-Hiti. Begitu juga
dengan tangan orang yang menyentuh tempat makan yang diberikan Syaikh Abu
Wafa’ kepada beliau akan bergetar hingga bahunya”. Syaikh Muhammad Yusuf
Al-Aquuli berkata”Aku berniat berziarah kepada Syeh Uday Bin Musafir. Ketika
aku menghadap, beliau bertanya kepadaku ‘dari mana anda ?’Aku adalah salah
seorang murid Syeh Abdul Qodir ‘ Jawabku. Mendengar jawabanku bekliau berkata
‘Bagus, Qutb-Al arda (bumi) yang dengan pernyataannya “Kedua telapak kakiku
ini ada di punggung setiap Wali Allah “ menjadikan 300 Wali dan 700
orang-orang Gaib yang berjalan di bumi maupun yang terbang, mengulurkan
pundak mereka kepadanya dalam satu waktu”. Kemudian aku menziarahi Syeh Ahmad
Rifa’i dan menceritakan kepadanya apa yang dikatakan oleh Syeh Uday saat itu
dan beliau berkata “sungguh tepat apa yang disampaikan beliau (Syeh Uday).
Syaikh Majid Al Kurdi berkata,”saat Syeh Abdul Qodir mengatakan pernyataan di
atas, semua wali di bumi pada saat itu merendahkan lehernya sebagai tanda
pengakuan mereka terhadap beliau. Dan tidak ada segolongan jin soleh pun yang
tidak datang menghadapnya untuk bertobat dan mengakui beliau hingga mereka
berdesak-desakan di pintu rumahnya. Riwayat ini disetujui oleh Syaikh Mathar.
Kemudian beliau berkata, “Aku bertanya kepada Syaikh Abdullah bin Sayyidina
Syeh Abdul Qodir Al-Jailani ,’apakah engkau menghadiri majlis saat ayahmu
berkata ,’kedua telapak kakiku ini berada di punggung setiap wali Allah ,
‘ya’ jawabnya. Kemudian ia berkata,’ yang hadir pada saat itu sekitar 50
orang syaikh’. Ketiks beliau masuk ke dalam rumahnya, yang tersisa hanya
Syaaikh Makarim, Syaikh Muhammad Al-Khas, dan Syaikh Ahmad Al-‘Aarini.
‘kamipun duduk dan berbincang-bincang’ ujarnya. Syaikh Makarim berkata,
“Allah memperlihatka kepadaku pada saat itu semua orang yang memiliki panji
kewalian di muka bumi mengakui panji kequthuban di tangan beliau dan mahkota
ghoutsiah di atas kepala beliau dan jubah otoritas total atas segala yang
wujud/eksis , untuk mengangkatnya menjadi Wali atau menurunkannya sesuai
syariat dan hakikat. Dan aku mendengar eliau berkata ,”kedua telapak kakiku
ini berada di punggung setiap Wali Allah yang akan menundukkan kepala dan
merendahkan dirinya kepada beliau bahkan termasuk di dalamnya para abdal yang
sepuluh, usltan masa tersebut Masih berkenaan dengan pernyataan Sang Syaikh,
Syeh Abu Sa’id Al-Qailawi berkata “ketika Syeh Abdul Qodir mengatakan ‘kedua
telapak kakiku ini ada di setiap punggung Wali Allah’ , Allah Tajalli dalam
jiwa beliau. Kemudian sekelompok malaikat datang membawakan jubah kebesaran
Rosululloh SAW untuk dipakaikan kepada beliau di hadapan para Wali terdahulu
maupun yang akan datang.-yang hidup datang dengan jasadnya, yng sudah
meninggal datang dengan ruhnya. Para malaikat dan Rijal Al-Ghaib mengelilingi
majlisnya dan berbaris ber shaf-shaf di udara , begitu banyak jumlahnya
hingga seluruh ufuk penuh dengan kehadiran mereka. Dan semua Wali yang ada di
muka bumi ini menundukkan kepala untuk beliau”. Syeikh Kholifah Al Akbar
bercerita “Saat aku bertemu dengan Rosululloh SAW dalam mimpi aku bertanya
kepad beliau ,’ Yaa Rosululloh Syeh Abdul Qodir trlah berkata ‘Kedua telapak
kakiku ini ada di punggung setiap Wali Allah ‘ Beliau menjawab ‘Yang
diucapkan leh beliu adalah benar. Bagaimana mungkin tidak benar apabila dia
adalah Qutb (para wali) dan aku (Rosululloh SAW yang emngawasinya. Di hari
Jum’at 3 Ramadan 599 H. seorang pria datang menghadap Syeh Hayyan bin Qis
Al-Harani di masjid Al Hiran memohon Khirqah (jubah kesifian tanda bai’at)
kepada beliau. “Dalam dirimu talah terdapat tanda selain aku’ kata beliau
kepadanya. orang itu berkata, ‘benar aku pernah bertemu Syeh Abdul Qodir
namun tidak ber bai’at kepada beliau”. Syeh Hayyan berkata “selama beberapa
waktu kita telah hidup di bawah bayangan kehidupan Syeh Abdul Qodir Al
Jailani .telah kita meminum gelas-gelas kebahagiaan dari mata air pengetahuan
beliau. dan Dari Beliau diperoleh rahasia para Wali menurut tingkatan mereka.
Suatu saat Syeh Lulu Al Armani ketika bertemu dengan Syeh Atha’ Al-Masri ,
beliau meminta untuk menyebutkan para gurunya. Syeh Lulu berkata ,”Atha’
guruku adalah Syeh Abdul Qodir Al Jailani yang menyatakan “kedua telapak
kakimku ini ada di punggung setiap Wali Allah .Dan pada saat beliau selesai
mengucapkan hal tersebut tercatat 313 Wali Allah dari segala penjuru dunia
menundukkan kepala meeka , 17 orang berada di Haramain , 60 orang di Iraq, 40
orang di negeri non Arab, 40 orang di Syam, 20 orang di mesir, 27 orang di
Maroko, 11 orang di Habsyah, 7 orang di tembok penahan Ya’juj dan Ma’juj, 7
orang di Wadi Sarandib, 47 orang di gunung Qof, 20 orang di daerah teluk. Dan
banyak yang besaksi bahwa pernyataan tersebut diucapkan berdasarkan perintah
Allah. Kemudian beliau melanjutkan.”Aku sendiri melihat para Wali di timur
maupun di barat merundukkan kepala mereka kepada Syeh Abdul Qodir kecuali
seorang Wali di daerah luar Arab yang kemudian hilang tanpa bekas. Diantara mereka
yang merundukkan kepalanya kepada beliau adalah Syeh Baqa’ bin Bathu’ , Syeh
Abu Sa’id Al-Qaylawy , Syeh Ahmad Arrifa’y yang dalam sebuah riwayat
memanjangkan lehernya dan melihat punggungnya seraya berkata,’Memang ada di
punggungku’. Saat di tanya mengenai perkataannya itu, beliau berkata,’saat
ini di Baghdad , Syeh Abdul Qodir sedang berkata ,’ Kedua telapak kakiku ini
ada di punggung setiap Wali Allah‘. Termasuk diantara mereka yang menundukkan
kepala kepada beliau adalah Abdurrahman Athafsunaji, Abu Najib Assahrawardi,
yang mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar hal tersebut seraya
berkata’di atas kepalaku. Musa Al Jazuli, Musa Al Harani, Abu MUhammad bin
‘Abd, Abu Umar, Ustman bin Marzuq , Abu Al-Karam , Majid Al Kurdi , Suwaid
Annajari, Ruslan Addimasqi, yangmenundukkan kepalanya di Damaskus seraya
berkata kepada para muridnya ‘Allah memiliki mutiara yaitu orang yang minum
dari lautanAl Quds dan duduk di permadani ma’rifah serta menyaksikan keMaha
Agungan Rububiyah / ketuhanan dan ke Maha Besaran Wahdaniyah (ketunggalan).
Sifat (kemanusiaannya) lenyap saat menyaksikan keMaha Besaran Nya
Eksistensinya lebur saat menyaksikan ke-WibawaanNya Maka dipakaikannya
kepadanya jubah keacuhan (terhadap dunia) dan ditempatkan di puncak tangga
Al-Inayah hingga beliau mencapai maqom yang telah ditentukan dan didudukkan
di puncak ruh Azaly . Dia berbicara dengan hikmah dari lembaran-lembaran
cahaya, bercampur dengan kepekatan rahasiaNya. Hilang kesadarannya ketika
berada di Hadirat Allah dan tidak pernah terputus denagn Allah ketika Ia
kembali sadar. Berdiri dengan penuh rasa malu, berbicara dengan tawadhu’
mendekatkan diri dengan penuh kerendahan, berbicara dengan kemuliaan ,
baginya ucapan selamat dan salam terbaik adalah berasal dari Tuhannya.
‘Apakah di dunia ini ada orang yang memiliki ciri seperti itu ?’ tanya
seseorang kepada beliau’Ada, dan Syeh Abdul Qodir pemimpin mereka’jawab
beliau. Di Maroko (Maghrib) Syaikh Abu Madin (setelah mendengarkan pernyataan
Syaikh Abdul Qadir ) memanjangkan lehernya dan berkata, ‘benar dan aku salah
seorang dari mereka. Yaa Allah aku bersaksi kepadaMu dan kepada para
MalaikatMu bahwa aku mendengar dan patuh’. Kemudian termasuk diantara mereka
adalah Syaikh Abu Na’im AL-Maghribi, Syaikh Abu Umar dan Utsman bin Marwazih
Al-Bathiahi, Syaikh Makarim, Syaikh Khalifah, Syaikh Uday bin Musafir. Pada
saat beliau mengucapkannya banyak orang yang melihat rombongan orang yang
terbang di udara untuk menghadap beliau berdasarkan perintah Khidir as. Dan
setelah mengucapkan selamat, seorang wali berkata kepada beliau, ‘eahai raja
zaman, pengusas tempat, pelaksana perintah Sang Maha Pengasih, pewaris kitab
Allah dan wakil RasuluLlah SAW, yang dianugerahi langit dan bumi, yang
menjadikan seluruh orang pada masanya sebagai keluarganya, yang doanya dapat
menurunkan hujan, dan berkahnya menghilangkan mendung, yang menjadikan kepala
orang yang menghadapnya tertunduk, yang makhluk gaib hadir di hadapannya
sebanyak 40 shaf, dengan 70 orang Gaib pada setiap shaf, yang ditelapak
tangannya tertulis bahwa dia tidak akan mendapat makar dari Allah, dan di
umurnya yang ke dua puluh para malaikat berputar di sekelilingnya serta
menyampaikan kabar gembira kewalian beliau’. Pada suatu masa, air sungai
dajlah meluap dan membanjiri Baghdad. Orang-orangpun mendatangi beliau
memohon pertolongannya. Sambil membawa tongkatnya beliau berjalan menuju
tepian sungai dan menancapkannya di batas air seraya berkata, “cukup sampai
di sini” dan saat itu pula air sungai tersebut menyurut. Syaikh Abdullah
Dzayyal berkata, “suatu saat ketika berada di madrasah beliau di tahun 560 H
aku melihat beliau memegang tongkat. Saat itu aku berharap aku dapat melihat
karamah yang keluar dari tongkat tersebut. Beliau kemudian memandang ke
arahku sambil tersenyum lalu menancpakan tongkatnya ke tanah, seketika itu
pula cahayanya menyembur dari tanah, menembus awan dan menjadikan langit
terang benderang beberapa saat. Beliau kemudian mencabutnya kembali dan
keadaan pun kembali seperti semula. Beliau berkata kepadaku, ‘Dayyal,
bukankah ini yang engkau kehendaki’”. Syaikh Abu Taqy Muhammad bin Al-Azhar
Ash-Shariifni berkata, “selama setahun penuh aku memohon kepada Allah untuk
dapat melihat salah seorang dari rijal Al-Ghaib. Pada suatu malam aku
bermimpi bertemu dengan seorang pria saat sedang menziarahi makam Imam Ahmad
bin Hambal. Terbetik dalam hatiku bahwa beliau adalah salah seoraang rijal
Al-Ghaib. Akupun terbangun dan sengan harapan dapat bertemu dengannya akupun
pergi ke makam Imam Ahmad bin Hambal . akupun bertemu dengan orang yang ada di
dalam mimpiku di sana. Saat beliau keluar aku mengikutinya hingga sampai ke
tepi sungai Dajjlah. Di tepian tersebut beliau menarik tepian sungai tersebut
hingga keduanya hanya berjarak satu langkah dan menyeberanginga. Aku memohon
kepadanya untuk berhenti dan berbicara kepadaku. Aku bertanya, “apa mazhabmu
?”. “Aku bermazhab Hanafi, seorang muslim dan bukan musyrik”. Jawab beliau.
Kemudian hatiku seakan – akan berkata, ‘pergi ke Syaikh Abdul Qadir dan
ceritakan apa yang engkau alami’. Akupun mengunjungi sang Syaikh. Setibanya
aku di pintu madrasah, beliau berkata dari dalam rumah tanpa membuka
pintunya, ‘yaa Muhammad, saat ini hanya dialah seorang wali yang bermazhab
Hanafi di muka bumi ini’. Suatu saat beliau naik ke atas kursi tempat beliau
mengajar, tidak berbicara dan tidak menyuruh pembaca kitab untuk
membacakannya. Dan orang-orang yang hadir memasuki kondisi ektase dan perkara
yang agung memasuki mereka. Salah seorang yang hadir bertanya dalam hati,
“apa ini ?”. beliau berkata, “seorang muridku datang dengan satu langkah dari
baitul Muqaddas kemari untk bertaubat dan semua yang hadir pada saat ini
dianggap sebagai tuan rumahnya. “dalam hatinya orang tersebut berkata, “jadi
siapa yang mengalami kondisi seperti ini adalah mereka yang bertaubat ?”.
pernyataan tersebut dijawab sang Syaikh, jangan engkau berharap kepadanya.
Dia datang kepadaku dan memintaku untuk mengajarinya jalan untuk mencinta”.
Pernah suatu saat Syaikh Abdul Qadir berjalan di atas udara di depan banyak
orang dan berkata, “Matahari selalu menyampaikan salam kepadakusetiap ia
ingin terbit. Demikian pula halnya dengan hari, bulan dan tahun. Mereka
–juga- menginformasikan kepadaku tentang apa tentang apa yang terjadi. Di
beberkan kepadaku Lauh Al-MahfudzI tentang siapa yang mendapatkan kesenangan
dan siapa yang mendapatkan kesusahan. Aku tenggelam dalam lautan Ilmu dan
Musyahadah –Nya. Aku adalah sandaran kalian dan wakil RasuluLlah SAW di muka
bumi”. Syaikh Abdul Qadir berkata, “Setiap wali berada di bawah telapak kaki
para Nabi dan aku berada di bawah telapak kaki kakekku RasuluLlah SAW. Semua
tempat yang aku injak maka bekasnya akan emnjadi telapak kaki Nabi.” Syaikh
Abdul Qadir berkata, “Aku adalah Syaikh bagi para manusia dan jin.” Di lain
kesempatan beliau berkata, “jika kalian bertanya kepada Allah, tanyakan aku
kepadaNya. Wahai penduduk bumi, dari timur hingga barat, kemarilah dan
belajar dariku. Wahai penduduk Iraq, Ahwal –kondisi spiriutal- yang kumiliki
seperti baju yang tergantung di rumah. Baju manasaja yang engkau pilih akan
aku pakaikan kepadamu. Hendaknya kalian menyampaikan salam atau akan aku
bawakan pasukan tiada tanding. Hai saudara, berkelanalah 1000 tahun agar
engkau dapat mendengarkan perkataanku. Saudara, kewalian dan beberapa derajad
spiritual ada di sini, di majlisku. Semua Nabi yang diciptakan Allah dan
semua wali menghadiri majlisku baik yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal dunia. Xang masih hidup dengan fisik mereka sedangkan yang sudah
meninggal dunia dengan rohnya. Saudara sekalian tanyakan diriku kepada Munkar
dan Nakir ketika mendatangi kalian (di kubur) maka mereka akan menceritakan
diriku kepada kalian.” Abu Ridho, pelayannya meriwayatkan, dalam suatu
kesempatan Syaikh Abdul Qadir berbicara tentang roh. Di tengah penjelasan,
beliau diam, duduk dan kemudian bangkit kembali seraya bersenandung, Rohku
telah diciptakan dengan hikmah dalam ke-qadiman, sebelum ia mewujud, ketika
ia dalam ketiadaan sekarang, bukankah suatu kebaikan setelah aku mengenal
kalian lalu aku pindahkan kakiku dari jalan hawa kalian. Di lain riwayat, Abu
Ridho bercerita, “suatu hari ebliau menjelaskan tentang cinta. Tiba-tiba
beliau bangkit dan diam. Lalu beliau berkata, ‘Aku tidak akan berbicara
kecuali dengan 100 dinar.’ Orang-oranagpun menyerahkan kepada beliau apa yang
beliau minta. Kemudian beliau memabggilku dan berkata, ‘pergilah engkau ke
pekuburan Syunuziyah dan cari seorag syaikh yang sedang bermain-main dengan
kayu lalu berika emas ini kepadanya dan bawa ia kepadaku’. Kemiudin akupun
pergi dan menemukan syaikh yang beliau maksud sedang berdiri dan
memain-mainkan tongkat kayu. Akupun mengucapkan salam dan menyerahkan emas
tersebut kepadanya. Dia berteriak dan jatuh pingsan. Saat beliau sadar aku
bertanya kepadanya, ‘Syaikh, Syaikh Abdul Qadir ingin bertemu denganmu’.
Beliau kemudian bangkit dan menemui Syaikh Abdul Qadir. Setibanya di sana
Syaikh Abdul Qadir memberikan perintah untuk menaikkannnya di kursi tempat
beliau mengajar dan meminta orang tersebut untuk menceritakan kisahnya. Dia
berkata, ‘Tuanku, sewaktu aku masih muda aku adalah seorang penyanyi bagus
yang dikenal banyak orang. Tetapi setelah aku tua, tidak ada seorangpun yang
memperhatikan aku. Aku pergi dari Baghdad dan berkata dalam hati, “aku tidak
akan menyanyi kecuali untuk yang mati”. Saat aku mengelilingi kuburan ini,
aku duduk di salah satu kuburan yang ternyata telah terbelah dan nampak
kepala mayat yang ada di dalamnya. Mayat tersebut berkata kepadaku, “Mengapa
engkau menyanyi untuk orang-orang mati, bernyanyilah untuk Yang Maha Hidup
sekali maka Dia aakn memberikan kepadamu apa yang engkau inginkan”. Akupun
jatuh pingsan, dan setelah tersadar aku berkata Tuhanku, aku persiapkan apa
yang aku miliki untuk hari pertemuan dengan-Mu, kecuali pengharapan hati dan
ucapan mulutku. Memang, sudah asalnya para pengharap mengharapkan harapan dan
mereka akan bersedih apabila engkau menolaknya Jika hanya golongan Muhsin
yang boleh berharap kepadaMu, lalu kepada siapa si pendosa berlindung dan
melarikan diri. Ubanku membuatku jelek di hari penghabisan dan perjumpaan
denganMu, semoga engkau menyelamatkan aku dari apiku. Saat aku berdiri,
pelayan anda datang membawakan emas ini”. Sambil mematahkan tongkat kayu yang
ada di tangannya dia berkata, sekarang aku bertobat kepada Allah’. Usai
mendengarkan kisah tersebut, Syaikh Abdul Qadir berkata, “Yaa fuqara’ , jika
kejujuran (orang ini) terhadap sesuatu yang sia-sia saja menyebabkannya
memperoleh apa yang ia inginkan, apalagi dengan para sufi yang
bersungguh-sungguh dalam kesufian, ahwal dan thariqahnya”. Kemudian beliau
melanjutkan, “hendaklah kalian berlaku jujur, dan bersih hati. Tanpa
keduanya, tidak mungkin seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Apakah kalian tidak mendengar firman Allah, “Jika berbicara hendaklah kalian
berkata jujur””. Saat beliau meminta 100 dinar, ada 40 orang mengantar jumlah
yang sama kepada beliau. Beliau hanya mengambil dari satu oraang, dan setelah
orang ini bertaubat, sisa dari uang pemberian tersebut beliau bagikan kepada
orang-orang. Peristiwa hari itu menyebabkan 5 orang meninggal dunia. Al-Kaimani,
Al-Bazaar, dan Abu Hasan Al-Ali yang dikenal dengan As-Saqazar bercerita
bahwa pada hari Rabu tanggal 27 Sya’ban tahun 529 H. Syaikh Abdul Qadir
bersama rombongan mengunjungi pekuburan Syunizi. Beliau berhenti di pekuburan
Syaikh HammadAd-Dabbas agak lama kemudian menlanjutkan perjalanannya dengan
muka berseri-seri. Pada saat ditanya sebab lamanya beliau berhenti dan
berseri-serinya muka Beliau, sang Syaikh menjawab, “Pada pertengahan bulan
Sya’ban tahun 499 H aku bersama murid Syaikh Hammad mengikuti beliau keluar
Baghdad. Setibanya di jembatan Yahud, beliau mendorongku sampai aku tercebur
ke sungai-pada saat itu udara sangat dingin-kemudian mereka berlalu dan
meninggalkanku. Aku berkata dalam hati, “Aku berniat mandi Jum’at”. Saat itu
aku mengenakan jubah sufi dan di lenganku terdapat sebuah jubah lagi yang
membuatku harus mengangkatnya agar tidak basah. Aku kemudian keluar dari air
dan memeras jubah tersebut dan menyusul mereka dalam kondisi kedinginan
hingga menusuk ke tulang. Melihat kondisiku, para murid bermaksud hendak
menolongku namun beliau melarangnya seraya berkata, “Apa yang aku lakukan
adalah untuk mengujinya, dan aku mendapatinya bagai gunung, kokoh tak
bergerak”. “Hari ini aku melihat beliau dalam kubur memakai jubah dari cahaya
bertabur permata. Di atas kepalanya terdapat mahkota dari Yakut . di tangan
kirinya terdapat gelang dari emas dan beliau memakai dua sandal dari emas.
Tapi tangan kanannya hilang. ‘Ada apa dengan lengan ini ?’ tanya ku kepada
beliau. Beliau menjawab, ‘inilah tangan yang aku pergunakan untuk
mendorongmu’. Kemudian beliau berkata, ‘maukah engkau memaafkan perbuatanku
itu ?’ ‘Ya’ jawabku. ‘jika demikian’ kata beliau, ‘mohonkan kepada Allah agar
Dia mengembalikan lenganku seperti sedia kala’. Akupun memohonkan kepada
Allah untuk itu dan pada saat itu 5000 wali turut memohon kepada Allah,
mendukungku dari kubur mereka. Aku terus memohon kepada Allah hingga akhirnya
Allah mengembalikann lengan kanannya dan beliau menjabat tanganku dengan
tangan kanan tersebut. Dengan demikian sempurnalah kebahagiaannya dan
kebahagiaanku.” Ketika kabar tersebut tersebar di Baghdad para murid Syaikh
Hammad beramai-ramai mendatangi sang Syaikh untuk meminta klarifikasi atas
pernyataan tersebut. Setibanya di madrasah beliau, sebagai rasa hormat mereka
kepada beliau, tidak ada seorangpun yang memulai pembicaraan. Beliaupun
kemudian memulai pembicaraan dengan menerangkan maksud kedatangan mereka saat
itu. Kemudian beliau berkata kepada mereka, “Kalian pilih dua orang. Insya
Allah melalui mereka berdua akan jelas apa yang aku ucapkan”. Mereka kemudin
memilih Syaikh Yusuf Al-Hamdani RA. Yang pada saat itu ada di Baghdad, dan
Syaikh Abdurrahman AL-Kurdi yang memang tinggal di Baghdad. Mereka berdua
termasuk orang-orang yang dianugerahi kasyf .’Kami serahkan urusan ini kepada
kalian’ kata mereka kepada kedua Syaikh tersebut. ‘Bahkan kalian jangan
beranjak dari tempat kalian berada sampai terbukti apa yang aku ucapkan’ kata
beliau kepada mereka. Kemudian beliau menghentakkan kakinya ke tanah dan pada
saat itu para sufi di luar telah berteriak memberitahu bahwa Syaikh Yusuf Al
Hamdani RA telah datang dengan berjalan bertelanjang kaki sampai beliah masuk
ke madrasah sang Syaikh. Di sana beliau berkata, ‘Aku bersaksi bahwa Syaikh
Hammad Ad-Dabbas berkata kepadaku, “Cepatlah datangi majlis Syaikh Abdul
Qadir dan katakan pada para Syaikh yang hadir bahwa apa yang dikatakan oleh
Syaikh Abdul Qadir adalah benar adanya’. Beliau sempat menamatkan
perkataannya, Syaikh Abu Muhammad Abdurrahman Al-Kurdi datang dan beliau
menyatakan pernyataan seperti yang dikatakan oleh Syaikh Yusuf Al-Hamdani RA.
Setelah mendengarken pernyataan tersebut, mereka bangkit dan memohon maaf
kepada Syaikh Abdul Qadir”. Seseorang berkata kepada beliau, “Kami berpuasa
seperti yang Anda lakukan, dan melaksanakan shalat sepertiyang Anda lakukan.
Tapi tidak ada satupun kondisi spiritualmu yang dapat kami lihat”. Beliau
berkata, “kalian dapat bersaing denganku dalam hal melaksanakan amal, akan
tetapi kalian tidak dapat bersaing denganku dalam hal anugerah yang diberikan
kepadaku. Demi Allah, aku tidak akan makan sampai Allah berkata kepadaku,
‘Demi hak-Ku atas dirimu, makan’. Aku juga tidak minum sampai Allah berkata
kepadaku, ‘Demi hak-Ku atas dirimu, minum’. Dan aku tidak akan melakukan sesuatu
kecuali berdasarkan perintah Allah”. Syaikh Abdul Qadir berkata, “Pada suatu
ketika di masa mujahadahku (perjuangan) aku tertidur. Dalam tidur tersebut
aku mendengar suara yang berkata kepadaku, ‘Ya Abdul Qadir, Kami tidak
menciptakanmu untuk tidur. Kami telah hidupkan engkau maka jangan lupakan
Kami’”. Syaikh Abu Naja Al-Baghdadi, pelayan Syaikh Abdul Qadir meriwayatkan
bahwa pernah suatu ketika hutang sang Syaikh kepada beberapa orang telah
mencapai 250 dinar, lalu datanglah oraaang yang tidak aku kenal dan masuk
tanpa ijin lalu duduk dihadapan sang Syaikh. Dia mengeluarkan uang seraya
berkata, “ini adalah pembayar hutang” kemudian ia pergi. Kemudian beliau
memerintahkan agar uang tersebut dibagikan kepada yang berhak. Kemudian –kata
Syaikh Abu Naja- ketika aku menanyakan siapa orang tersebut, sang Syaikh
berkata, “Dia adalah yang berjalan menurut Al-Qadar”. “Siapa yang berjalan
menurut Al-Qadar” tanyaku lagi. Beliau menjawab, “Dia adalah malaikat yang
diutus Allah kepada para waliNya yang memiliki hutang untuk melunasi
hutang-hutang mereka”. Syaikh Uday bin @bu Barakat meriwayatkan bahwa ayahnya
meriwayatkan dari pamannya Syaikh Uday bin Musafir. Beliau berkata, “suatu
ketika saat Syaikh Abdul Qadir memberikan pengajaran, turunlah hujan yang
membuat orang-orang berpencar. Sang Syaikh menengadahkan kepalanya kep arah
langit dan berkata, ‘Aku mengumpulkan mereka untukMu dan Engkau cerai
beraikan mereka seperti ini’. Seketika itu pula hujan berhenti, tidak ada
satu tetespun air yang turun di majlis tersebut sedangkan di luar madrasah
hujan tetap lebat”. Syaikh AbdulLah Al-Jaba’I meriwayatkan, “ Pada suatu hari
Syaikh Abdul Qadir sedang berbicara tentang bagaimana menghilangkan ujub.
Tiba-tiba Beliau memalingkan Muka Beliau kepadaku dan berkata, ‘Apabila engkau
melihat sesuatu yang berasal dari Allah dan hal tersebut menggiringmu untuk
melakukan kebaikan serta engkau dapat melepaskan dirimu dari (meminta)
penjelasan akan hal tersebut maka engkau telah lepas dari sifat ujub’”.
Syaikh orang-orang sufi, Syaikh Syihabuddin Umar As-Sahrawardi berkata, “Dulu
saat aku masih muda, aku menenggelamkan diriku untuk mempelajari ilmu kalam.
Aku hafal berbagai karangan dalam bidang tersebut dan segera menjadi seorang
pakarnya. Pamanku telah memperingatkanku akan hal tersebut namun aku tidak
mempedullikannya, sampai suatu hari aku dan dia menziarahi Syaikh Abdul
Qadir. Beliau berkata kepadaku, ‘’Umar, Allah SWT berfirman, ‘Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul
hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin), sebelum
pembicaraan itu’. Kami adalah orang-orang yang kalbunya selalu mendapatkan
bisikan dari Allah. Sekarang lihatlah posismu di hadapan Allah agar engkau
dapat melihat keberkahan melihat-Nya”. “ketika kami sudah duduk bersamanya,
pamanku berkata kepada beliau, ‘Kmenakanku ini menyibukkan dirinya dengan
ilmu kalam. Aku sudah larang dia akan tetapi dia tidak mematuhiku’. Mendengar
penuturan pamanku, beliau mengulurkan tangannya yang penuh berkah ke dadaku
dan berkata, ‘Kitab apa saja yang telah engkau hafal ?’. Akupun menjawab
dengan menyebutkan berbagai kitab yang telah aku hafal. Demi Allah, saat
beliau mengangkat tangannya dari dadaku, tidak ada satu katapun dari
kitab-kitab, yang sebelumnya aku hafal di luar kepala, yang masih aku ingat.
Saat itu juga Alah Ta’ala telah melupakan aku tentang berbagai masalahnya dan
menanamkan dalam dadaku ilmu laduni. Aku bangkit dari hadapannya sambil
berbicara dalam bahasa hikmah. Lalu beliau berkata kepadaku, “Umar, engkau
adalah orang-orang terakhir yang termasuk golongan orang-orang masyhur di
Iraq”. Syaikh Abdul Qadir adalah Sulthan ahl-Thariqah yang dianugerahi
otoritas atas semua eksistensi. Abu Faraj bin Hamami bercerita, “Aku banyak
mendengar cerita-cerita mustahil yang muncul dari Syaikh Abdul Qadir Al
Jailani ra. Yang tidak dapat aku terima. Akan tetapi karena itulah aku ingin
sekali bertemu dengan beliau. Suatu saat, aku pergi ke Bab Al-Azij untuk
suatu keperluan. Ketika pulang aku melewati madrasahnya dan tepat pada saat itu
muazin telah mengumandangkan shlalat ashar. Dalam hati aku berkata, ‘aku akan
shalat ashar dan berkenalan dengan sang Syaikh’. Saat itu aku lupa bahwa aku
belum berwudhu dan langsung shalat. Setelah selesai shalat, Syaikh Abdul
Qadir menjumpaiku dan berkata kepadaku, ‘Anakku, jika engkau datang kepadaku
dengan suatu hajat pasti akan aku kabulkan. Sayangnya sekarang engkau
benar-benar lupa bahwa engkau belum berwudhu ketika melakukan shalat’.
Pengetahuan beliau terhadap sesuatu yang tersembunyi menimbulkan kekaguman
kepadaku akan kkondisi spiritual yang telah beliau capai. Sejak saat itu aku
selalu mengikutinya, mencintainya dan emlayaninya. Dari keajdian tersebut aku
mengetahui keluasan berkah beliau”. Al-Jaba’I berkata, “ketika mendengar
kitab Haliyatul Auliya’ oleh ibnu Nashir, terbetik dalam hatiku untuk
berkontemplasi, menjauhkan diri dari manusia dan menyibukkan diri beribadah.
Saat shalat Ashar, aku berjama’ah bersama Syaikh Abdul Qadir. Selesai shalat
beliau melihat ke arahku dan berkata, ‘jika engkau benar-benar ingin
berkontemplasi (khalwat), maka jangan lakukan itu sebelum engkau benar-benar
menguasai agama, bergaul dengan para Syaikh dan belajar dari mereka. Saat
itulah engkau boleh berkontemplasi (khalwat). Jika engkau tidak melakukan itu
maka engkau `kan terputus sebelum engkau menjadi ahli dalam bidang agama.
Engkau juga akan merasa bangga atas apa yang engkau miliki. Tapi ketika ada
masalah agama yang engkau tidak ketahui, engkau akan keluar dari zawiyahmu
dan bertanya kepada orang-orang tentang hal tersebut. Sebaik-baik
kontemplator (orang yang berkhalwat) adalah mereka yang bagaikan lilin,
amemberikan penerangn dengan cahayanya”. Syaikh Abu Abbas Al-Khidr Al-Husain
Al-Maushuli meriwayatkan, “pada suatu malam, saat kami sedang berada di madrasah
Syaikh Abdul Qadir, datanglah khalifah AL-Mustanjid biLlah Abu Mudzaffar
Yusuf bin Al-Imam Al-Muftaqi li amriLlah Abu AbduLlah Muhammad Ad-Dabbas.
Beliau mengucapkan salam kepada sang Syaikh dan memohon nasihatnya sambil
meletakkan 10 kantung uang yang dipikul oleh 10 orang budak. Syaikh berkata,
“Aku tidak membutuhkan ahrta ini”. Namun sang Imam berkeraas agar Syaikh
Abdul Qadir menerimanya. Syaikh Abdul Qadir kemudian mengambil 2 kantung uang
yang paling besar dan paling berat lalu memeras keduanya dengan tangan
beliau, maka mengalirlah darah. Berkatalah Syaikh kepada Khalifah, ‘Mudzafar,
engkau peras darah rakyat lalu engkau berikan kepadaku. Tidakkah engkau malu
kepada Allah ?’. sang khalifahpun pigsan mendengar hal tersebut. Kemudian
sang Syaikh emlanjutkan, ‘Kalau buan karena rasa hormatku kepada garis
keturunannya dengan RasuluLlah SAW, akan aku biarkan darah tersebut mengalir
hingga pintu istananya’. Syaikh Abu Hasan Ali Al-Quraisy berkata, “saat aku
menghadiri salah satu majlis sang Syaikh tahun 559 H datanglah rombongan
golongnan rafidah membawa dua buah keranjang tertutup dan berkata kepada
beliau, ‘Beritahu kami apa isi dua keranjang ini’. Beliau turun dari kursi
dan mengulurkan tangannya memegang salah satu keranjang tersebut dan berkata,
‘Yang ini berisi anak yang lumpuh’. Lalu beliaiu memerintahkan puteranya
Abdurrazaq membuka keranjang tersebut dan isinya seperti yang beliau ucapkan.
Beliau pegang kaki anak tersebut kemudian berkata, ‘Bankitlah dengan ijin
Allah’. Seketika anak tersebut bangkit. Kemudian beliau memegang keranjang
yang lain dan berkata, “keranjang ini berisi anak yang sehat dan tidak
cacat’. Ketiak keranjang tersebut dibuka, maka keluarlah seorang anak yang
sehat, sang Syaikh memegang ubun-ubunnya dan berkata, ‘Duduklah’. Seketika
itu pula anak tersebut menjadi lumpuh. Rombongan rafidah tersebut bertobat di
hadapan beliau dan pada saat itu 3 orang meninggal dunia’. Diriwayatkan, dari
Yahya bin Junah Al-Adib bahwasanya beliau berkata, “Dalam hati aku berkata”.
‘Aku ingin menghitung berapa banyak sang Syaikh melantunkan sya’ir di dalam
majlisnya dengan menggunakan benang dari pakaianku. Akupun kemudian
menghadiri majlis pengajiannya dan setiap beliau melantunkan sya’ir maka aku
ikatkan benang di bawah pakaianku. Ditengah-tengah beliau bersya’ir tiba tiba
beliau berkata, ‘Aku melepaskan ikatan sedang engkau mengikatnya’”. Syaikh
Abu Hasan (Ibnu Syathantah) Al-Baghdadi berkata, “Saat aku belajar kepada
sang Syaikh, aku sering berjaag di malam hari untuk melayani beliau. Pada
suatu malam di bulan Shafar tahun 553 H, aku melihat beliau keluar dari
ruangannya. Akupun menyodorkan tempat air untuk berwudhu kepada beliau namun
beliau tidak mempedulikan tawaranku dan terus bergerak menuju pintu madrasah.
Kemdian beliau memberi isyarat kepada pintu madrasah tersebut maka pintu
itupun terbuka dengan sendirinya. Kemudian beliau terus berjalan keluar
sementara aku mengikutinya dari belakang. Aku berkata dalam hatiku bahwa
beliau tidak mengetahui kalau aku ikuti dari belakang. Beliau terus berjalan
ke arah pintu gerbang kota Bagdad, maka beliaupun memberikan isyarat kepada
pintu tersebut dan pintu itupun terbuka dengan sendirinya. Kami terus
berjalan, namun tak berapa lama tibalah kami di suatu tempat semacam ribath
yang sama sekali tidak aku ketahui. Di dalam ribath tersebut terdapat 6 orang
yang sedang duduk, dan ketika mereka mengetahui kedatangan Syaikh Abdul Qadir
maka merekapun segera menyambut beliau seraya mengucapkan salam. Aku segera
pergi ke sudut bangunan tersebut dan dari dalam bangunan terdengarlah suara
dengungan dan rintihan. Tak berapa lama, suara tersebut berhenti , kemudian
seorang pria masuk ke dalam ruangan yang tadi terdengar rintihan lalu keluar
dengan membawa seseorang di atas pundaknya. Setelah itu seseorang yang tidak
mengenakan sesuatu di kepalanya dengahn kumis yang lebat masuk dan duduk di
hadapan sang Syaikh dan kemudian mengambil dua kalimah syahadah dari beliau
kemudian memotong kumis serta rambutnya. Setelah itu beliau kenakan thaqiyah
(topi) di kepalanya dan memberikan nama Muhammad kepadanya serta berkat
kepada yang lain, ‘Aku telah diperintahkan untuk menjadikannya sebagai ganti
dari yang meninggal’. ‘Kami mendengar dan patuh’ jawab yang lain. Baliau lalu
keluar dari ruangan tersebut seraya meninggalkan mereka. Setelah itu beliau
berjalan dan tak lama kami tiba di pintu gerbang kota Baghdad. Pintu tersebut
kembali terbuka dan menutup dengan sendirinya setelah kami melewatinya.
Demikian juga tak berapa lama kami tiba di Madrasah kemudian memasukinya.
Keesokan harinya aku mohon kepada sang Syaikh untuk menceritakan apa yang aku
lihat. Maka beliaupun menjawab, “Adapun negeri yang kita datang kemarin
adalah negeri Nahawand. Enam oran yang engkau lihat adalah para wali abdal
dan suara dengungan yang engkau dengar adalah wali yang ke tujuh. Dia sedang
sakit dan aku hadir di sana untuk melayatinya. Adapun orang yang aku ambil
syahadatnya adalah seorang nashrani dari Konstantinopel dan aku perintahkan
ia untuk menjadi ganti ari si mayit. Adapun orang yang masuk dan keluar sambil
menggendong jenasah adalah Abul Abbas Al-Khidhir AS yang diperintah Allah
untuk mengurus jenasah wali yang wafat”. Kemudian beliau mengambil sumpahku
untuk tidak menceritakan peristiwa tersebut selama beliau masih hidup. Beliau
berkata, “Takutlah kamu untuk tidak membuka rahasia ini selama aku masih
hidup”. Abu Sa’id AbdulLah bin Ahmad bin Ali Al-Baghdadi Al-Azji bercerita,
“Pada tahun 537 H anak perempuanku seorang perawan berusia 16 tahun naik ke
atas atap rumahku dan kemudian hilang. Akupun pergi menghadap Syaikh Abdul
Qadir dan menceritakan hal tersebut. Beliau berkata kepadaku, “Pergilah ke
pegunungan Al-Karh. Duduklah di puncak ke lima dan buatlah tanda lingkaran di
sekitarmu sambil berkata, ‘BismiLlaahiRrahmaanirRahiim, atas niat Syaikh
Abdul Qadir. Nanti ketika hari mulai gelap akan banyak jin yang melewatimu.
Mereka tidak akan dapat menyakitimu. Pada waktu sahur, raja raja mereka akan
lewat beserta bala tentaranya dan mereka akan menanyakan maksud kedatanganmu.
Saat itulah ceritakan kepada mereka perihal anakmu’. Akupun melaksanakan
perintah tersebut. Ketika hari muali gelap, geromblan jin dengan bentuk yang
sangat menakutkan namun mereka tidak dapat menyakitiku atau menggangguku.
Gerombolan demi gerombolan terus berlalu hingga waktu sahur datanglah raja
mereka dengan mengendarai seekor kuda dan berdiri di luar lingkaran menghadap
ke arahku. Dia berkata, ‘hai manusia apa keperluanmu’. “Syaikh Abdul Qadir
mengutusku kepadamu”. Jawabku. Begitu mendengar nama Syaikh Abdul Qadir maka
raja jin tersebut turun dari kudanya mencium tanah dan duduk, begitu pula
dengan para jin lain yang menyertainya. Kemudian ia berkata, ‘apa yang
terjadi pada dirimu ?’. akupun menceritakan kepada mereka aka kisah puteriku
yang hilang. Setelah mendengar penuturanku, dia berkata kepada para jin,
‘Siapa yang melakukan ini’. Tidak ada satu jinpun yang mengakuinya. Lalu
datanglah seorang jin bersama anakku. Sang raja berkata, ‘ini adalah
pembangkang dari negeri cina’. ‘apa yang mendorongmu berani melakukan hal ini
di bawah atap sang qutb ?’. tanyanya kepada jin tersebut. Jin tersebut
berkata, ‘perempuan tersebut menarik hatiku dan aku mencintainya’. Sang raja
kemudian memerintahkan jin tersebut untuk dipenggal kepalanya dan menyerahkan
anakku kembali. Aku berkata kepadanya, ‘Aku belumpernah melihat jin dengan
derajad tinggi sepertimu memenuhi perintah Syaikh Abdul Qadir’. Dia berkata,
‘Benar, dari rumahnya beliau memandang kepada jin pembangkang yang pada waktu
itu berada di dasar bumi.kewibawaannya membuat para pembangkang tersebut kembali
ke tempat mereka. Sesungguhnya jika Allah mengangkat seorang Qutb maka Dia
akan menjadikannya sebagai Qutb diantara jin dan manusia’.
|