Minggu, 11 Maret 2012

biografi soekarno

MENCOBA MEMAHAMI SOEKARNO SEBAGAI " DIRINYA SENDIRI"
Judul Buku:
SOEKARNO BAPAK INDONESIA MERDEKA; Sebuah Biografi 1901-1945
Pengarang : Bob Hering
Penerbit : Hasta Mitra
Tahun Terbit : 2003
Halaman : XXII + 496 (termasuk indeks)
BIOGRAFI SINGKAT Ir. SOEKARNO (PRESIDEN NEGARA RI PERTAMA)
Ir. Soekarno lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901. Ayahnya
bernama Raden Sukemi dan Ibunya bernama Ida Nyoman Rai. Beliau lulus
dari Sekolah Tinggi Teknik (sekarang ITB) di Bandung tahun 1925. Beliau
pertama kali menjelaskan ide-ide politiknya pada tahun 1926 pada sebuah
artikel yang berjudul,"Nasionalisme, Islam dan Marxisme". Beliau
merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan Partai Nasional Indonesia
(PNI) pada tanggal 4 Juli 1929.
Pendidikan :
1. Menamatkan sekolah dasar di Tulung Agung, ELS di Mojokerto dan
HBS di Surabaya.
2. Menamatkan ITB di Bandung mendapat gelar Insinyur pada tahun
1926.



Jabatan dan kegiatan yang pernah diemban/dilakukan :
1. Berjuang dalam pergerakan kebangsaan semenjak masih mahasiswa
2. Tahun 1925, mendirikan Algemeene Studie Club di Bandung.
Majalahnya Indonesia Muda, sering menulis disurat kabar yang isinya
cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka.
3. Dua tahun kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia bersam
tokoh politik lainnya yaitu Mr. Iskak, Dr.Ciptomangunkusumo, Mr.
Budiarto, Mr. Sunaryo dan Mr. Sartono.
4. Tahun 1929 beliau dipenjarakan selama 4 tahun di penjara
Sukamiskin karena dituduh akan melakukan pemberontakan.
5. Setelah keluar dari penjara ia semakin berapi-api membakar
semangat rakyat. Beliau ditangkap lagi dan dibuang ke Ende (Flores)
selama 4 tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Bung Karno baru bebas
setelah Jepang menduduki Indonesia.
6. Pada masa pendudukan Jepang Ir. Soekarno memimpin Pusat Tenaga
Rakyat (Putera) bersama Drs. M.Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH Mas
Mansur. Organisasi ini dibentuk Jepang untuk kepentingan mereka. Akan
tetapi Bung Karno dan kawan-kawan menggunakan Putera untuk kepentingan
Indonesia, karena itu Putera dibubarkan oleh Jepang.
7. Bulan September 1944, Jepang berjanji akan memerdekakan
Indonesia. Untuk itu dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
8. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno
mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila.
9. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
10. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir. Soekarno terpilih secara
aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
11. Pada Agresi I, Ir. Soekarno memimpin perjuangan di Jawa. Pada
Agresi II Belanda Ir. Soekarno ditangkap dan dibuang ke Bangka.
12. Tanggal 11 Maret 1966 beliau mengeluarkan SUPERSEMAR kepada Letjen
Suharto.
13. Tanggal 22 Februari 1967 penyerahan kekuasaan pemerintahan kepada
Jenderal Suharto
















SOEKARNO BAPAK INDONESIA MERDEKA
Seorang tokoh besar seperti Soekarno memang menjadi bahan kajian yang
tidak pernah habis dan membosankan. Selalu ada unsur dan polemik baru
yang lahir dari tokoh ini di sepanjang karier politiknya.
Karya Bob Hering tentang Soekarno ini mencoba memahami kembali Soekarno
sebagai "Bapak Bangsa" dengan cara melakukan rekonstruksi atas berbagai
realitas yang dialami Soekarno sendiri. Dengan begitu, ia mencoba
mengurangi "subyektivisme" dan stereotip atas Soekarno sebagai sosok
yang oleh Taufik Abdulah sering dianggap sebagai sosok "eksotis dari
Timur" oleh para peneliti Barat.
Edisi bahasa Indonesia karya Hering diterbitkan oleh Hasta Mitra dengan
kata pengantar dari Joesoef Isak. Menurut Joesoef, banyak karya tentang
Soekarno tidak menggambarkan siapa itu Soekarno secara utuh, "Obyeknya
memang Soekarno, tetapi pertama-tama stempel selera dan warna-politik
penulis sendirilah yang dapat kita detect, dapat langsung kita lihat
belang penulisnya" (hal viii). Dalam semangat ini Hering mencoba melihat
watak Soekarno menurut pengalaman Soekarno sendiri. Dengan dukungan data
yang sangat detail, karya ini mengajak pembaca agar memahami tentang
Soekarno sebagai "dirinya sendiri". Seperti dikatakan oleh Joesoef, "dia
bebas dari kontaminasi abstraksi-abstraksi kerekayasaan yang bermaksud
mematahkan dan menghitamkan Soekarno " (hal xxi).
Pesan penting dari buku ini adalah bahwa benang merah paling penting
dari sejarah politik Soekarno adalah perjuangannya yang konsisten untuk
mencapai Indonesia merdeka. Untuk tujuan tersebut ia "melakukan berbagai
cara yang dimungkinkan" untuk terus membawa kapal politik gerakan menuju
satu tujuan bersama, Indonesia merdeka. Oleh karena itu, pantas bila
Soekarno dijuluki "Bapak Indonesia Merdeka". Sebuah peran besar yang
tidak boleh "dikecilkan" oleh analisis akademis dan penelitian tentang
diri Soekarno, di balik segala kontroversi yang mengiringinya.

Menyusuri ideologi Soekarno muda

"Masa pendidikan politik" Soekarno, menurut Hering, dibentuk di dua kota
berbeda, yang mengenalkannya pada dua ideologi modern yaitu sosialisme
dan nasionalisme. Di kota Surabaya Soekarno mengaku pertama kali
mengenal Marxisme melalui Alimin ketika ia tinggal di asrama. Di asrama
ini ia juga mengenal Moeso, Semaun, dan Darsono, orang- orang kiri yang
kelak mendirikan Partai Komunis Indonesia. Dari orang-or`ng sosialis
radikal ini Soekarno juga mulai mendengarkan berbagai propaganda
sosialis yang dilakukan oleh orang Eropa seperti Baars, Reeser, dan
Hartogh. Pengaruh kaum sosialis ini sangat kuat pada analisis Soekarno
tentang imperialisme, kapitalisme, dan kolonialisme sehingga kalaupun ia
nanti menjadi seorang nasionalis, ia menjadi seorang nasionalis yang
cenderung antikapitalisme.
Namun, dalam perkembangannya Soekarno tidak memilih sosialisme radikal.
Menurut Hering, ada dua orang yang memengaruhi perubahan "sosialisme"
Soekarno. Pengaruh pertama datang dari tokoh karismatis Sarekat Islam,
Tjokroaminoto, yang mempunyai basis kuat di Surabaya dan seorang
penganjur "kapitalisme yang bermoral" dan dasar religius bagi
sosialisme. Tjokro "secara berangsur memberikan tugas- tugas dan
tanggung jawab politik kepada Soekarno yang dengan senang
dilaksanakannya" (hal 104-105).
Pengaruh kedua datang dari Karl Kautsky melalui karyanya Sozialismus und
Kolonialpolitik Eine Auseinandersetzung yang ia baca ringkasannya dalam
Het Vrije Woord di tahun 1919. Kaustsky membawa Soekarno kepada
pentingnya sebuah parlemen yang kuat daripada sebuah kediktatoran
proletariat. Seperti ditulis Hering, "Hal ini memberikan pengaruh agak
kuat pada Soekarno yang telah lebih matang" (hal 107).
Kepindahan Soekarno ke Bandung pada bulan Juni 1921 untuk masuk ke
Technische Hoogeschool membawa Soekarno berkenalan dan menyerap
nasionalisme radikal dari Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker. Tjipto
tampaknya mendapatkan tempat khusus dalam diri Soekarno.
Menurut Hering, " Soekarno mengakui bahwa ia mendapatkan pengaruh
politik terbesar dari trio pengurus IP (Indische Partij) kemudian SH/NIP
(Sarekat Hindia/Nationaal-Indische Partij)" (hal 128). Soekarno menyebut
Tjipto dengan "saudara Tjipto-mychief". Kebetulan Tjipto dan Douwes
Dekker tinggal tidak jauh dari tempat tinggal Soekarno di Bandung.
"Mereka itu yang mempengaruhi pandangan politik radikal Soekarno yang
kian matang, terutama Tjipto yang sama-sama priyayi" (hal 129). Selama
di Bandung ini "Tjipto terus-menerus mendorong Soekarno menjadi seorang
nasionalis yang meyakinkan" (hal 129).
Pergumulannya dengan sosialisme dan nasionalisme radikal membuat
Soekarno mencoba merumuskan "sebuah ideologi nasional" yang akan ia
gunakan hingga akhir hayat, yaitu Marhaenisme. Nama ini didapat ketika
ia sedang berjalan di sebelah selatan Bandung dan bertemu dengan seorang
petani bernama Marhaen. Seorang petani kecil, tani sieur, memiliki
sepetak tanah dengan peralatan kerja untuk bercocok tanam, sekadar bisa
bertahan hidup bersama keluarga. Konsep Marhaen ini kemudian ia
identikkan secara lebih luas dengan orang yang miskin dan hidup
kekurangan, seperti buruh miskin, nelayan miskin, klerek miskin,
pedagang keliling miskin, tukang sado miskin, atau sopir miskin.
"Menurut Soekarno, mereka semua adalah marhaen, dan marhaenisme adalah
sosialisme Indonesia dalam praktek" (hal 126). Dengan begitu, Soekarno
muda sudah menemukan suatu "ideologi nasional" yang dianggap cocok
dengan situasi rakyat negerinya. "Pada waktu itu, ia memandang bahwa
konsep marhaenisme lebih cocok sebagai ideologi nasional daripada
pengertian kelas proletariat" (hal 126).
Soekarno mencoba mencari strategi realistis bahwa tujuan ideologis atas
nama Islam atau sosialisme sebetulnya harus melewati sebuah proses yang
sama, yaitu Indonesia merdeka. Tujuan "mencapai kemerdekaan" ini yang
menurut Hering konsisten dilaksanakan oleh Soekarno dengan taktik yang
berbeda, nonkooperasi di zaman rezim kolonial Belanda dan kooperasi di
bawah rezim f`sis Jepang.


Pada tahun 1926 didirikan Comite Persatuan Indonesia (CPI) di Bandung.
CPI mengeluarkan terbitan berkala bulanan yang bernama Indonesia Moeda
(IM). Dalam IM ini Soekarno mengeluarkan formula politik "klasiknya"
tentang "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme". Tulisan ini dimuat tiga
nomor berturut- turut. "Dengan begitu Soekarno melakukan ajakan dan
prakarsa dramatis kepada tiga ideologi dominan yang menjiwai keberadaan
dan bertahannya organisasi-organisasi utama di Tanah Air" (hal 136).
Persatuan ini ditujukan pada satu muara, yaitu "untuk melakukan
perlawanan bersama terhadap musuh bersama" (hal 136).

Perserikatan Nasional Indonesia dan represi

Pada bulan Juli 1926 Soekarno mengadakan sebuah pertemuan dan mengambil
kesepakatan tentang perlunya mendirikan sebuah partai nasionalis baru
yang "sama sekali berlainan dengan PKI". Disepakati untuk membentuk
Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dengan Soekarno sebagai ketua.
Partai ini menolak taktik kekerasan, tetapi memilih sikap nonkooperasi
atas penguasa kolonial. PNI juga mengambil taktik aksi massa atau rapat
umum untuk mendesakkan kebangkitan kesadaran rakyat. Kelahiran PNI ini
juga menjadi titik awal rivalitas politik yang panjang antara Soekarno
dan Hatta dan Syahrir.
Kelahiran PNI ini telah membentuk "jiwa politik Soekarno " untuk
menjalin suatu "keterikatan emosional" dengan "kerumunan massa" yang
terpukau oleh orasinya. Kehadirannya menjadi kunci dari mobilisasi
politik yang diikuti oleh ribuan orang di berbagai tempat di Pulau Jawa.
Rezim kolonial mulai khawatir dengan perkembangan ini. Akibatnya, ruang
gerak PNI mulai dibatasi dengan berbagai pembatalan acara dan represi.
Bahkan, di Semarang pidato Soekarno dihentikan oleh polisi ketika
berbicara tentang kemerdekaan. Soekarno mulai menjadi target utama
polisi, intel rezim kolonial. Bahkan polisi bertindak lebih jauh lagi
dengan melarang penggunaan kata "merdeka" dalam pertemuan PNI dan pidato
Soekarno. Bahkan beredar desas-desus bahwa Soekarno sudah masuk dalam
daftar aktivis yang akan ditangkap dan dibuang.
Merespons isu tersebut Hatta sudah menyiapkan sebuah perjalanan bagi
Soekarno untuk tinggal sementara di negeri Belanda. Namun, menurut
Hering, selain motif untuk menghindari represi atas PNI dan Soekarno,
Hatta tampaknya juga berambisi hendak mengambil alih kepemimpinan
politik. "Ketika PNI ditinggalkan sendirian, maka Hatta akan mendapatkan
peluang nyata bagi peran dirinya sendiri" (hal 185). Dan langkah
selanjutnya adalah "mendapatkan kesempatan agar kepemimpinan PNI jatuh
ke tangan mereka yang kurang flamboyan dan lebih berhati- hati yang
kemudian lebih menerima arahan dan gagasannya sendiri" (hal 185).
Anjuran ini ditolak oleh Soekarno, yang menurut Hering, "Hatta tidak
memahami suatu fakta penting bahwa Soekarno mendapatkan kepuasan luar
biasa dengan menggunturkan protes dan klaimnya di depan kerumunan besar
massa rakyat pribumi yang mendengarkan pidatonya" (hal 186).
Tanggal 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap dengan tuduhan akan adanya
pemberontakan, "agar ada alasan memukul PNI sekali dan untuk selamanya"
(hal 203). Selanjutnya, Soekarno ditahan di Penjara Bantjeuj. Ketika
Soekarno di penjara, rezim kolonial terus melakukan represi atas PNI
dengan melakukan penggeledahan dan pelarangan berbagai kegiatan.
Akhirnya para pimpinan PNI membekukan organisasi ini pada 11 November
1930.
Pengadilan atas Seokarno dilangsungkan sepanjang tahun 1930 dan ia
dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Soekarno lalu ditahan di Penjara
Soekamiskin di Bandung bersama dua pemimpin PNI lainnya, Gatot dan
Maskoen. Proses persidangan Soekarno menjadi media propaganda dan
pendidikan politik yang menarik perhatian luas, seperti dikatakan
Hering, "Dengan segala keterampilannya sebagai orator, ia menyampaikan
pembelaan maraton yang piawai, penuh dengan data resmi tak terbantah
dalam membeberkan pesannya dengan istilah-istilah yang penuh tenaga"
(hal 213-214).
Dipenjarakannya Soekarno tetap tidak dapat menghasilkan "kepemimpinan
politik baru". Hatta dan Syahrir yang mendirikan Pendidikan Nasional
Indonesia (PNI Baru) pada tahun 1932 gagal menggantikan peran Soekarno
dan PNI lamanya. Menurut Hering, akhirnya Syahrir bersikap jauh lebih
realistis atas Soekarno. "Kami tak dapat menyingkirkan dia (Soekarno).
Telah beberapa tahun lamanya rakyat terpesona olehnya sampai kini" (hal
237-238). Akibatnya, menurut Hering, "secara mendasar mereka gagal untuk
dapat melaksanakan cetak biru pandangan Barat secara lengkap" (hal 240).
Bebasnya Soekarno pada Januari 1932 membuat Partindo yang didirikan
untuk menggantikan PNI dengan cepat mendorong kembali radikalisme kaum
pergerakan. Cabangnya berkembang hingga 43 cabang dengan anggota
mencapai 20.000 anggota. Untuk memberikan panduan politik, Soekarno
menerbitkan pamflet Menuju Indonesia Merdeka (MIM). Hering tidak melihat
keluarnya pamflet MIM sebagai reaksi dari pamflet Hatta yang keluar
sebelumnya dengan judul Ke arah Indonesia Merdeka (KIM) seperti ditulis
Mavis Rose dalam Biografi Politik Mohammad Hatta (Jakarta, Gramedia
1991, hal 111).
Pada 31 Juli 1933 Soekarno kembali ditangkap karena pamfletnya tersebut.
Dalam proses interogasi inilah dunia pergerakan kembali dibuat geger
oleh Soekarno dengan dipublikasikannya empat surat Soekarno yang
mengungkapkan penyesalan politiknya dan berjanji akan keluar dari
politik dan selanjutnya mengabdikan diri sepenuhnya dalam kehidupan
sebagai warga biasa sesuai dengan kemampuan akademiknya.
Hering sendiri tampaknya mencoba keluar dari polemik sensitif di sekitar
surat ini dengan melihat konteks mengapa bisa keluar surat semacam ini.
Pertama, ia menduga ada tekanan atas Soekarno selama diinterogasi dan
ditahan, "Kunci masalahnya mungkin sekali berada di tangan Jongmans yang
menekan Soekarno dengan memaksanya menulis surat kepada Jaksa Agung"
(hal 258). Kedua, ia hendak mengatakan bahwa Soekarno adalah juga
manusia biasa, apalagi saat itu ibunya sedang sakit, "Di sini ia dalam
keadaan pantas dikasihani, memohon dirinya dibebaskan, serta menerima
usul yang bermaksud baik untuk memperbaiki jalan hidupnya" (hal
258-259). Terakhir, rezim kolonial melanggar kesepakatan yang telah
dibuat untuk tidak mengumumkan surat-surat tersebut. Rezim kolonial
tampaknya sadar, "Diterbitkannya surat itu akan merupakan 'pernyataan
kematian sosialnya yang pasti' dan menyebabkan 'masyarakat Indonesia
akan mengutuk dan meludahi dirinya'" (hal 259).
Selanjutnya, Soekarno harus menjalani hukuman panjang dalam "sewindu
semadi dan refleksi" di Ende dan Bengkulu. Dari pembuangannya di
Bengkulu Soekarno terus mengikuti perkembangan dunia dan mulai menulis
serangkaian artikel tentang bahaya fasisme, "Semangat kita adalah
semangat demokrasi, sedang semangat fasis adalah tirani". Perkembangan
ini disadari Soekarno "akan mempunyai kaitan langsung atau tidak dengan
kepentingan Indonesia sendiri" (hal 295).
Pada 1941 Soekarno dibebaskan dan diminta untuk membentuk Penolong
Korban Perang. Seperti ditulis Hering, "Bagi Soekarno ini merupakan
pertanda bahwa serangan Jepang sudah mendekat" (hal 301). Analisis
Soekarno itu terbukti benar. Bulan Maret 1942 tentara fasis Jepang sudah
behasil mengambil alih Hindia Belanda dari rezim kolonial Belanda.

Zaman Jepang dan proklamasi kemerdekaan

Tidak banyak yang memahami bahwa taktik kolaborasi dalam zaman
pendudukan militer Jepang dilakukan Soekarno dalam kerangka "mencari
segala cara" untuk membawa Indonesia merdeka. Tampaknya penulis ingin
membuktikan bahwa dalam ruang politik yang begitu sempit, Soekarno
berhasil memaksakan berbagai konsesi politik kepada rezim Fasis Jepang.
Dalam "penafsiran seperti ini" Hering ingin menunjukan bahwa Soekarno
tidak berubah dengan cita-citanya, hanya taktiknya yang berubah. oleh
karena itu, strategi Soekarno tersebut tidak bisa disamakan dengan
kolaborasi terhadap naziisme atau fasisme di Eropa.
Pada bulan Juni 1942 Soekarno kembali ke Jawa dari pembuangannya. Ia
lalu terlibat dalam pertemuan politik dengan Asmara Hadi, Hatta, dan
Syahrir untuk merespons situasi terbaru di bawah pendudukan militer
Jepang. "Mereka berempat merundingkan kesempatan kerja sama dengan pihak
Jepang dalam usaha untuk membangun kembali gerakan" (hal 338). Dengan
alasan strategis itu Soekarno menerima penunjukannya untuk berkolaborasi
guna mengurangi dampak politik penindasan pemerintah terhadap rakyat.
Dengan taktik itu Soekarno menerima tawaran Jenderal Imamura, penguasa
militer Jepang, untuk duduk sebagai penasihat dalam Departemen Urusan
Dalam Negeri. Posisi ini memberikan "ruang dan kesempatan" kepada
Soekarno untuk kembali bicara di hadapan ribuan rakyat, "tempat ia
selalu mendapatkan ilham kekuatan" (hal 341), setelah sembilan tahun
diasingkan. Pada tanggal 8 Desember 1942 Soekarno mengumumkan berdirinya
Pusat Tenaga Rakyat (Putera).
Soekarno memanfaatkan Putera untuk melakukan berbagai rapat umum di
berbagai tempat dan mendesakkan berbagai konsesi politik. Sebuah rapat
umum Putera yang dihadiri lebih dari 100.000 orang di Bandung akhirnya
membuat "Pemerintah Jepang memberikan sejumlah konsesi" (hal 356) dengan
"mengizinkan penduduk Jawa melakukan partisipasi politik" (hal 356).
Realisasi perluasan partisipasi politik itu adalah dengan pembentukan
Chuo Sangiin (Dewan Penasihat Pusat), Shu Sangikai di tingkat
karesidenan dan Tokubetsushi Sangikai khusus di Jakarta.
Dalam Chuo Sangiin Soekarno terus menuntut konsesi politik yang lebih
luas bahkan sudah berani menuntut kemerdekaan dalam pidato pertama
pembukaan dewan. Menurut Hering, "Chuo Sangiin yang diketuai oleh
Soekarno telah berkembang ke arah lain daripada yang dimaksudkan oleh
pihak Jepang" (hal 359-360).
Kebutuhan akan mobilisasi perang membuat pihak Jepang membentuk Pembela
Tanah Air (Peta) yang diketuai oleh tokoh PNI, Gatot Mangkoepradja.
Namun, organisasi ini berhasil digerakkan ke arah tujuan lain. Hering
menulis, "Kaum nasionalis Indonesia memandang Peta berbeda karena tujuan
berkelanjutan Soekarno, Hatta, dan para pemimpin Putera lain yang terus
menerus mengindoktrinasi para anggota Peta dengan arah pandangan pro
Indonesia, hanya keluar terlihat pro Jepang dan antisekutu" (hal 365).
Tanda-tanda Jepang mulai kelelahan dengan perang mulai tampak dari janji
PM Koiso untuk memberikan masa depan kemerdekaan bagi Indonesia pada
bulan Juli 1944. Pada tanggal 1 Maret 1945 secara mengejutkan pemerintah
Jepang membentuk Badan Untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan yang dipimpin oleh Dr Radjiman.
Setelah Nazi takluk pada sekutu pada bulan Mei 1945, Mayjen Yamamoto
Moichiro secara mengejutkan mulai berbicara tentang "membangun Indonesia
merdeka". Badan Untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
mengadakan sidang 1 Juni 1945 "untuk bersama-sama mencari dasar
filosofis bersama" (hal 401). Dalam sidang ini Soekarnomerumuskan
konsepnya yang dikenal sampai sekarang dengan Pancasila.
Pada tanggal 10 Agustus 1945 Syahrir menyebarkan kabar peledakan bom
atom di Jepang dan ultimatum sekutu agar bala tentara Jepang menyerah.
Ia menyebarkan kabar ini kepada berbagai kelompok pemuda dan menemui
Hatta "untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia" (hal 413).
Polemik yang muncul kemudian adalah, apakah proklamasi dilakukan karena
"penculikan" yang dilakukan oleh kelompok yang didorong oleh "scenario
mereka sendiri, atau setidaknya scenario Syahrir" (hal 415) ataukah
memang karena inisiatif Soekarno -Hatta sendiri? Adam Malik menganggap
telah terjadi kesepakatan antara pemuda dan keduanya setelah dipaksa.
Hatta menganggap kesepakatan itu cuma mitos belaka. Kenyataannya adalah
bahwa naskah proklamasi dikerjakan di Jalan Imam Bonjol, di rumah
Laksamana Maeda, di mana Hatta berperan besar dalam menuliskan naskah
proklamasi. Pada jam 10 pagi di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan 56, "
Soekarno dengan didampingi Hatta di depan ratusan hadirin membacakan
proklamasi" (hal 423).
Berita ini lalu disebarluaskan dengan menggunakan fasilitas kantor
berita Domei ke seluruh pelosok Indonesia dan dunia.
Selanjutnya PPKI diubah menjadi Komite Nasional Indonesia "untuk
menghindarkan kesan sebagai bikinan Jepang". Dan Soekarno menjadi
presiden bersama wakilnya Hatta dengan dewan penasihat sementara Komite
Nasional Indonesia Pusat. Pada tanggal 7 Oktober Syahrir dan 40 orang
anggota KNIP membuat petisi yang menuntut kabinet bertanggung jawab pada
legislatif (KNIP), bukan pada presiden.
Petisi ini menunjukkan terbukanya kembali rivalitas perebutan
kepemimpinan politik di antara Syahrir-Hatta versus Soekarno. Petisi
tesebut adalah alat dari Syahrir-Hatta untuk "memangkas peran politik
Soekarno ". Kejadian ini adalah "kudeta diam-diam dalam arti dilakukan
dengan pintar, tenang dan damai" (hal 429). Dan Soekarno diletakan
perannya tak lebih sebagai "simbol".

Penutup
Karya "akbar" ini menurut Bob Hering akan dilanjutkan dengan penerbitan
jilid II, yaitu masa perjalanan politik Soekarno antara tahun 1945
hingga 1965. Kita patut menunggunya karena rivalitas antara
Hatta-Syahrir dan Soekarno akan mencapai puncaknya dengan penangkapan
Syahrir dan mundurnya Hatta sebagai Wapres. Namun, rivalitas itu
tampaknya hanya sekunder karena munculnya rivalitas baru antara dua
pendatang politik baru yang sangat penting yaitu PKI dan Angkatan Darat
(baca: ABRI). Dua kekuatan politik yang nantinya akan coba diimbangi
oleh Soekarno dengan menggunakan berbagai konsep " Soekarno muda", yang
akhirnya gagal karena Angkatan Darat bergerak dengan motif politik yang
lain yaitu motif ideologis Perang Dingin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar